Senin, 14 Februari 2011

SUAMI YANG TANGGUNG JAWAB ISTRI YANG TAAT KUNCI KEBAHAGIAAN HIDUP KELUARGA (Memenuhi tanggung jawab suami isteri)

1. Suami dalam membahagiakan isteri
Setiap makhluk hidup mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban akan berjalan dengan baik jika dilakukan dengan tanggung jawab yang benar dan konsekwen. Apalagi hal itu berkaitan dengan tanggung jawab suami terhadap isterinya dalam membina rumah tangga yang harmonis. Menjalankan tanggung jawab dengan baik akan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antara suami dan isteri. Terkadang sebagian dari suami mengartikan kepemimpinan (الرجال قوامون على النساء ) sebagai tindakan menguasai, bertindak sewenang-wenang dan memperbudak isterinya. Pemahaman seperti ini merupakan pemahaman yang keliru. Sebenarnya jika suami isteri mengetahui batasan hak dan kewajibannya, mereka berdua akan hidup damai dan bahagia.
Seorang isteri jika memikul tanggung jawab yang memang seharusnya dipikul oleh suaminya, sebagai kepala keluarga, dikhawatirkan akan terjadi badai kehancuran rumah tangga. Karena harus berhadapan dengan tanggung jawabnya sendiri sebagai isteri. Firman allah dalam al quran :
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ …
“kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu allah telah melebihkan sbagian mereka [laki-laki] atas sebagian yang lain [wanita] dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian harta mereka.”
Ayat ini menunjukan suatu kepemimpinan laki-laki di atas wanita. Allah menempatkan hikmahnya agar menjadi jelas bahwa fitrah laki-laki berbeda dengan fitrah wanita. Seorang isteri memiliki kelebihan di dalam mengatur masalah rumah tangga, pendidikan anak serta tanggung jawab yang mencerminkan kasih sayang, keramah tamahan kepada anak dan suaminya. Sementara laki-laki melebihi wanita dalam sisi fisik, kekuatan berfikir, keberanian di dalam mempersiapkan perjuangan keluar dari bebagai kesulitan, mencari nafkah untuk kebutuhan lahir dan bathin, mempertahankan harga diri dan menolak dari segala ancaman dan mara bahaya. Sebab lain yang mendasari laki-laki menjadi pemimpin adalah kewajibannya mencari nafkah. Karena sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Dalam membina hubungan rumah tangga diperluakan sebuah tanggung jawab antara suami dan isteri. Tanggung jawab yang dilakukan dengan benar dan tepat akan menciptakan mahligai rumah tangga yang bahagia, sejahtera damai dan sentosa. Di antara tanggung jawab seorang suami adalah :
2. Memberikan nafkah pada isteri
Islam memerintahkan kepada sang suami agar memberikan nafkah pada isteri dan keluarganya. Karena di saat akad nikah telah dilaksanakan, di situlah kewajiban suami mulai dilaksanakan dengan memberikan nafkah kepada isteri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Rasulallah pernah ditanya oleh seseorang tentang tanggung jawab suami terhadap isterinya, yang digambarkan lewat hadits riwayat dari hakim bin muawiyah al qusyairi, dari bapaknya;
قاَلَتْ رَجُلٌ مِنَ الصَّحاَبَةِ : ياَرَسُوْلَ اللهِ ! ماَ حَقُّ زَوْجَةِ اَحَدِناَ عَلَيْهِ ؟ قاَلَ : اَنْ تُطْعِمَهاَ اِذاَ طَعِمْتَ وَتَكْسُوْهاَ اِذاَ اِكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَتُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ اِلاَّ فِى الْبَيْتِ . [اخرجه احمد وابو داود وابن ماجه]
“ada seseorang bertanya kepada rasulallah, tanyanya ; ‘ya rasulallah apa hak isteri terhadap suaminya? Jawab beliau ; ‘berikan makan di saat kamu makan, berikan ia pakaian di saat kamu memakai pakaian, janganlah kamu memukul mukanya, jangan dijelekan dan jangan kamu asingkan kecuali masih dalam rumahmu.’” (hr. Ahmad, abu daud dan ibnu majah)
Hadits ini menegaskan sejumlah hak-hak isteri yang harus ditunaikan oleh suami. Sesuatu yang menjadi keperluan suami maka termasuk keperluan isteri. Diantaranya memberikan nafkah, baik lahir maupun batin, memperlakukannya dengan baik, tidak menzalimi dan tidak mengusirnya, jika ada kesalahan kecil. Justru sang isteri harus diperlakukan dengan baik, lembut dan ramah.
Islam telah memberikan ketentuan nafkah sebagai hak isterinya, baik dia orang kaya atau orang miskin. Kewajiban tersebut telah digariskan oleh al quran dalam surat at talaq ayat 7 yang artinya :”hendaklah orang yang mampu dapat memberikan nafkah menurut kemampuannya.” Dalam surat al baqarah ayat 233 memperkuat dari tanggung jawab tersebut, yang artinya : “dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” Juga pada surat at talaq ayat 6 menegaskan kewajiban suami agar memberikan tempat tinggal pada isteri. Pada konteks hadits, hak-hak wanita juga mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi diskriminasi dan perlakuan kasar dari suami. Selengkapnya konteks hadits tersebut sebagai berikut :
عن سليمان بن عمرو بن الأحوص قال: حدثني أبي أنه شهد حجة الوداع مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، فحمد الله واثنى عليه ، وذكر ووعظ . فذكـر فى الحديث قصة فقال : ألآ واستوصوا بالنساء خيرا ، فإنما هن عوان عندكم . ليس تملكون منهن شيئا غير ذلك ، إلا أن يأتين بفاحشة مبينة . فإن فعلن فاهجروهن فى المضاجع واضربون ضربا غير مبرح . فإن اطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا . ألآ ان لكم على نسائكم حقا ، ولنسائكم عليكم حقا . فأما حقكم على نسائكم فلا يوطئن فرشكم من تكرهون ولا يأذن فى بيوتكم لمن تكرهون، ألآ وحقهن عليكم ان تحسنوا إليهن فى كسواتهن وطعامهن .
“dari sulaiman bin amr bin al ahwash berkata; “bapakku berbincang kepadaku bahwasanya ia mengikuti haji wada` bersama rasulallah saw. Beliau mengucapkan hamdallah dan memuji-nya, lalu beliau mengingatkan dan menasehati. Ia menyebutkan dalam satu qisah hadits : katanya :’ ketahuilah perlakukanlah isteri-isteri kalian dengan baik, sebab mereka bagaikan tawanan kalian. Kalian tidak memiliki hak selain itu, terkecuali jika mereka berbuat kekejian. Jika mereka melakukannya, tinggalkanlah mereka dan tidurlah dengan terpisah darinya, pukulah mereka dengan pukulan yang tidak mencederainya. Jika mereka mematuhi kalian, maka jangan halangi jalannya. Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak atas isteri kalian dan mereka juga memiliki hak atas kamu semua. Hak kalian atas mereka adalah kalian berhak melarangnya untuk tidak memasukan siapapun orang-orang yang tidak kalian sukai dan tidak mengizinkan orang-orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Ketahulah bahwa hak mereka terhadap kalian adalah memberikan pakaian dan makanan.’” (hr. Turmudzi)
Berdasarkan nash-nash di atas, ada beberapa pandangan di kalangan ahli fikih terhadap tanggung jawab suami kepada isterinya. Menurut mazhab hanafi, wajibnya nafkah atau tanggung jawab materil lainnya terhadap isteri, jika diikatkan pada satu syarat, yaitu seorang isteri telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami untuk tinggal dan berbakti kepadanya, serta mampu melaksanakan hubungan badan suami isteri. Terlepas apakah suaminya mampu atau tidak melakukan hubungan seksual, yang terpenting isteri siap jika diajak bersenggama dengan suaminya.
Pandangan lain diberikan oleh mazhab maliki berpendapat bahwa pemberian nafkah harus dikaitkan dengan penyerahan diri wanita kepada suami dan dalam kondisi mampu mengadakan hubungan seksual. Bahkan mazhab syafi’i dalam pemberian nafkah lebih menekankan kemungkinan penikmatan hubungan seksual. Sementara pada mazhab hanbali mengatakan bahwa jika sang isteri belum digauli, bagi suami tidak ada kewajiban memberi nafkah, karena suami belum menikmati hubungan seksual.
Pandangan berbeda diutarakan oleh mazhab zahiri, mereka mengatakan wajibnya pemberian nafkah dikaitkan dengan adanya ikatan nikah saja, tidak dikaitkan dengan penyerahan diri serta adanya kemungkinan melakukan hubungan seksual. Jika telah terlaksana nikah, nafkah wajib bagi isteri, terlepas apakah isteri itu berada di rumah suaminya atau tidak, dan atau apakah isteri berstatus janda atau perawan.
Sedangkan pandangan mazhab ja`fari sejalan dengan pandangan empat mazhab di atas bahwa nafkah diwajibkan jika telah diikat dengan nikah dan mampu melakukan hubungan seksual, kecuali jika isteri itu membangkang dan tidak mau patuh terhadap suaminya (nusyuz), maka sang isteri tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
Dari beberapa pendapat di atas, para fuqaha sepakat tentang kewajiban memberikan nafkah kepada isteri di saat telah terjadi ikatan pernikahan dengan beberapa ketentuan yang harus dimiliki oleh isteri seperti kewajiban mematuhi suami dalam kebaikan, dirinya siap dan layak untuk dijadikan pasangan hidup sebagai isteri. Nafkah yang diberikan mulai dari ikatan perkawinan sampai wanita itu dalam kondisi talak raj’i atau wanita dalam kondisi hamil.
Para fuqaha sepakat mengenai pemberian akomodasi (mut`ah) kepada isteri yang telah ditalaknya, apabila suami sempat menggaulinya, baik maharnya telah ditentukan atau belum; dan juga kepada isteri yang ditalak sebelum sempat dicampuri apabila maharnya belum ditentukan. Apabila wanita yang dicerai sebelum dicampuri sedang maharnya telah ditentukan, ia masih berhak menerima separoh mahar. Dengan demikian ia tidak perlu diberi mu’tah, sesuai dengan firman allah :
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sebenarnya telah menentukan maharnya, maka bayarlah separo dari mahar yang telah kamu tentukan. (qs. Al baqarah : 237)
Sementara wanita yang dicerai teah digauli oleh suaminya maka dirinya berhak mendapatkan mu’tah, sebagaimana firman allah yang artinya ; “kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaknya diberikan oleh suaminya] mu’tah menurut yang ma’ruf. Qs. Al baqarah ; 241)
Bagi wanita yang ditalak raj’i ketentuan mut`ahnya mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Sedangkan bagi wanita yang talak tiga tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Sebagaimana dijelaskan oleh hadits riwayat fatimah binti qais bahwa nabi berkata kepadanya mengenai wanita yang ditalak tiga, katanya : “ia (isteri) tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.” Pada kasus wanita yang melakukan khulu’ juga tidak berhak mendapatkan nafkah. Sama halnya dengan wanita yang ditinggal mati suaminya, ia tidak berhak menerima nafkah dan tempat tinggal.
Dalam ketentuan pemberian nafkah melihat pada kondisi suami. Kalau memang suami itu kaya, maka ia harus memberikan nafkah sesuai dengan kekayaannya. Sementara bagi suami yang ditimpa kesulitan, maka ia harus memberikan nafkah kepada isterinya semampunya, tidak disamakan dengan kondisi suami yang kaya. Jika isterinya orang kaya sementara kondisi suaminya miskin, maka untuk mencukupi kebutuhannya, seorang isteri bisa mengeluarkan biaya nafkah dari hartanya sendiri, tanpa harus memaksakan kondisi suami yang miskin. Seandainya pihak isteri tidak ingin mengeluarkan hartanya untuk biaya nafkah, maka dirinya harus bersabar dengan kondisi suaminya.
Persoalan jenis nafkah di kalangan fuqaha memberikan beberapa rincian. Misalnya pada mazhab hanafi yang mengaitkan jenis nafkah segala bentuk yang diperlukan oleh isterinya, selain tiga jenis, makanan, minuman dan pakaian, termasuk biaya pengobatan jika isterinya sakit, terutama jenis penyakit yang dapat mengganggu hubungan suami isteri. Sebagian golongan dari mereka lebih ketat membatasi nafkah. Jika isteri sakit setelah menyerahkan dirinya untuk suaminya, maka wajib memberikan biaya pengobatan. Tetapi jika isteri sakit sebelum menyerahkan diri kepada suaminya, maka tidak ada kewajiban mengobati sakit yang diderita oleh isteri.
Lebih rinci lagi ulama malikiyah memberikan ketentuan nafkah dengan mengaitkan lauk pauk, pakaian dan tempat tinggal yang disesuaikan dengan adat kebiasaan dan melihat kemampuan suami. Sama halnya dengan mazhab syafi’i yang memberikan keterangan tentang nafkah seperti makanan, lauk pauk, pakaian, alat kebersihan, dan perkakas rumah. Tentunya hal ini diberikan sesuai dengan kondisi suami.
Pemberian nafkah tidak hanya dianggap sebagai suatu kewajiban suami terhadap isterinya. Tetapi dari sisi pahala mendapatkan ganjaran yang amat besar. Hal ini diceritakan pada hadits riwayat ka’ab bin ajrah, ia berkata;
مَرَّ عَلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ، فَرَأَى أَصْحاَبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ وَنَشاَطِهِ ، فَقاَلُواْ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ ! لَوْ كَانَ هَذاَ فِى سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنْ كاَنَ خَرَجَ يَسْىَ عَلَى وَلَدِهِ صِغاَراً فَهُوُ فِى سَبِيْلِ اللهِ ، وَاِنْ كاَنَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى اَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ ، وَاِنْ كاَنَ خَرَجَ يَسْعَى رِياَءً وَتَفاَخُراً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ الشَيْطاَنِ . [رواه الطبراني ]
“ada seorang laki-laki mendatangi nabi saw. Para sahabat melihat orang laki-laki itu penuh dengan ketabahan di mana terlihat dari semangatnya yang tinggi. Kemudian para sahabat bertanya kepada nabi; ‘ wahai rasulallah ! Apakah usahanya itu mendatangkan pahala seperti berjuang di jalan allah. Jawab rasul; ‘seandainya ia keluar untuk berusaha mencari nafkah guna menghidupi anaknya yang masih kecil, maka usahanya berada di jalan allah. Seandainya ia keluar mencari nafkah untuk kedua orang tuanya yang sudah renta, maka ia berada di jalan allah. Sebaliknya jika ia usaha karena riya dan berbangga diri, maka usahanya berada di jalan setan.’’”
Tidak hanya itu, memberikan nafkah kepada keluarga lebih baik dari pada memberikan satu dinar untuk memerdekakan budak dan memberi pada anak miskin. Semua itu dilakukan jika mengharap ridla allah. Bukan karena keterpaksaan dan ingin dianggap dermawan. Rasulallah saw bersabda:

ماَاَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَماَ اَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَماَ اَطْعَمْتَ زَوْجَتِكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ . [رواه احمد ]
“sesuatu yang engkau makan untuk dirimu sndiri, maka itu merupakan sedekah bagimu. Sesuatu yang engkau jadikan makanan bagi anak-anakmu, maka itu merupakan sedekah. Dan sesuatu yang engkau jadikan makanan bagi isterimu, itu juga dianggap sebagai sedekah.”
3. Membimbing isteri dalam kebaikan
Kiat untuk mencapai mahligai rumah tangga yang bahagia dan harmonis adalah sikap saling memahami antara suami isteri. Bagi seorang suami harus mengetahui dan memahami tabiat isterinya dan bergaul dengan baik kepadanya. Hal demikian harus dilakukan oleh suami dengan memberikan sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan dirinya. Rasulallah saw sering bercanda gurau dengan isteri-isterinya, bahkan tak jarang rasul ikut serta dalam pekerjaan rumah tangga. Seperti diterangkan pada hadits riwayat aswad bin yazid, ia berkata; “ aku tanyakan kepada siti aisyah tentang perbuatan yang dilakukan oleh rasulallah saw sewaktu berada di rumah. Kata aisyah; ‘rasul selalu melakukan pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu adzan datang ia meninggalkan pekerjaan itu dan keluar untuk melakukan shalat.’”
Sifat saling tolong menolong dalam membina hubungan rumah tangga merupakan satu kebiasaan yang baik dan mendatangkan banyak manfaat. Apabila seorang suami mengerti kesibukan isteri yang padat, tentu dirinya akan tergugah membantu dan meringankan pekerjaan isteri. Karena hidup berumah tangga bukan sekedar menjalankan tanggung jawab individu. Tetapi justru bagaimana menjalankan tanggung jawab itu secara bersamaan. Oleh karena itulah suami atau isteri harus dijadikan patner atau sahabat, sehingga tercipta suasana kebersamaan bukan nuansa diskriminasi dan perbudakan.
Ilustrasi hadits di atas mencerminkan pola hidup bersama antara suami isteri. Tindakan yang dilakukan oleh rasulallah merupakan sebuah cerminan bagi keluarga, di mana suami harus pandai-pandai memperlakukan isterinya dengan baik, membantu pekerjaan rumah jika suami memiliki waktu luang. Memang dalam berumah tangga ada kewajiban tersendiri antara suami isteri. Misalnya bagi seorang suami harus mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan anak dan isteri, biasanya ini dilakukan oleh suami dengan mencari pekerjaan yang berada di luar rumah. Sementara seorang isteri harus menjalankan tugas mendidik anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Tetapi dengan adanya pekerjaan masing-masing tidak tertutup kemungkinan untuk saling membantu. Bagi seorang suami jika memang pekerjaan mencari nafkah telah diselesaikan, tidak ada salahnya membantu pekerjaan rumah yang masih dikerjakan oleh isteri. Begitu pula sebaliknya bagi seorang isteri, jika telah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, dia bisa meringankan tugas suami dengan membantu dan meringankan tugas suami. Perasaan isteri akan sangat gembira, jika suami mengerti kesibukan yang dijalankan oleh isteri. Karena itu ia akan sangat bergembira, jika tugasnya diringankan oleh suaminya, apalagi suami membantunya dalam keadaan senang.
Upaya membimbing isteri dalam menciptakan rumah tangga yang harmonis juga harus didasari dengan musyawarah dalam memecahkan sebuah persoalan. Bermusyawarah adalah satu kunci kesuksesan dalam berumah tangga. Kehidupan berumah tangga adalah menyatukan dua persepsi yang berbeda. Hal ini tentunya tidak selalu sejalan, pasti akan dijumpai perbedaan pendapat dalam mengatur rumah tangga. Segala persoalan hidup yang dipecahkan dengan cara musyawarah akan mendatangkan hasil yang baik dan keputusan yang diambil akan bijaksana. Sebaliknya jika suatu persoalan rumah tangga diputuskan secara individu tanpa melibatkan keluarga, tentu yang dihasilkan tidak optimal, barangkali bisa saja merugikan pihak lain. Oleh karena itulah bermusyarah sangat dianjurkan dalam agama, tidak hanya masalah kemasyarakatan secara umum, tetapi terlebih dianjurkan dalam skala rumah tangga sebagai pilar dari kehidupan bermasyarakat.
Ada sebuah pelajaran yang bisa kita petik dari kehidupan rasulallah berkenaan dengan sifat bermusyawarah. Abu huraira pernah berkata ; “aku tidak pernah menemukan seseorang yang lebih menerapkan prinsip bermusyawarah selain rasulallah.” Karena musyawarah membawa kepada kemaslahatan dan pemecahan yang terbaik dari sebuah persoalan, maka rasulallah begitu menganjurkan adanya musyawarah dalam rumah tangga. Rasulallah saw bersabda : “tidak akan pernah rugi orang yang melakukan istikharah [meminta petunjuk kepada allah dalam menetukan sebuah sikap hidup terhadap persoalan yang dijumpai], dan tidak akan pernah menyesal orang yang selalu menyelesaikan persoalan dengan bermusyawarah.” (hr. Thabrani.)
ketika rasulallah selesai menuliskan perjanjian hudaibiyah, beliau berkata kepada para sahabatnya. “wahai para sahabatku, bangunlah dan laksanakan qurban, setelah itu bertahalullah kalian ! Tetapi para sahabat diam dan tidak ada satupun yang melakukan perintah rasul, sampai rasulallah mengulangi perintah itu sampai tiga kali. Namun kondisi sahabat tetap saja bersikap diam, tidak menghiraukan perintahnya. Kemudian nabi pulang ke rumah dan menjumpai isterinya, ummu salamah dan menceritakan kondisi dan sikap para sahabat yang tidak menghiraukan perintahnya untuk berqurban dan bertahallul. Lalu ummu salamah memberikan pendapat kepada rasulallah, katanya ; “ya rasulallah apakah kamu suka terhadap sikap para sahabatmu itu? Keluarlah ! Dan jangan bicara kepada seorangpun sebelum kamu melaksanakan qurban dan memanggil tukang cukur untuk memangkas rambutmu! Rasulallah pun keluar dan melaksanakan anjuran isterinya. Ketika para sahabat mengetahui perbuatan rasul dengan menyembelih qurban dan menyukur rambutnya, serentak para sahabat menirunya dengan menyembelih qurban dan mencukur rambut mereka.’’” (hr. Bukhari)
Nampak jelas sekali dari ucapan dan peristiwa yang terjadi dalam sejarah rasulallah, bahwa musyawarah dapat menciptakan suasana menjadi kondusif, tidak mudah chaos dan dapat menentukan sasaran dakwah dengan baik. Terlebih jika hal ini diarahkan untuk membentuk keluarga yang harmonis. Dari ilustrasi di atas, keberhasilan dakwah nabi disebabkan pendapat yang dilontarkan oleh isteri nabi agar nabi mempraktekan budaya berqurban terhadap diri sendiri sebelum memberikan perintah kepada orang banyak. Nabi begitu menghargai pendapat isterinya yang didasarkan pada prinsip musyawarah bahkan beliau mempraktekan apa yang dikatakan oleh isterinya.
Membimbing isteri agar gemar bermusyawarah dapat mempermudah pemecahan masalah yang terjadi dalam rumah tangga, sekaligus dapat menyatukan persepsi yang berbeda. Dalam kiat bermusyawarah tentunya seorang suami harus bisa melihat latar belakang pendidikan dan wawasan isterinya. Begitu pun sebaliknya, jika seorang isteri memiliki wawasan dan pendidikan yang lebih tinggi, tentunya jika ia ingin berdialog dengan suaminya harus menggunakan bahasa dan pemikiran sesuai dengan kadar latar belakang suaminya sehingga permasalahan mudah dimengerti oleh pikiran suaminya.
Persoalan yang biasa didialogkan dengan isteri semisal persolan pengaturan kebutuhan sandang, pangan dan papan, mengatur neraca belanja dalam rumah tangga, pendidikan anak-anak dan masa depan mereka. Apapun persoalan yang membutuhkan pemecahan, sebaiknya dilakukan dengan jalan musyawarah kepada isteri. Keuntungan ini bukan saja menghasilkan bagi diri sendiri, tetapi yang paling baik dapat membimbing isteri dan menempatkan keberadaannya secara proforsional sebagai seorang isteri sekaligus teman berdialog. Bahkan keuntungan dari musyawarah dapat menciptakan suasana rumah tangga berjalan dengan baik dan harmonis.
3. Memuliakan keluaraga suami istri
Mempergauli kerabat dari pihak suami atau isteri dengan baik. Perbuatan ini akan mendatangkan tali persahabatan antar kedua belah pihak. Allah telah menganjurkan agar kita saling tolong menolong dalam kebaikan dan menjaukan dari permusuhan dan dosa. Memuliakan keluarga dan kerabat adalah satu bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Anjuran ini selalu dipesankan oleh rasulallah mengingat banyak sekali orang yang telah menikah dengan mudah melupakan hubungan silaturrahmi. Sehingga jalinan persahabatan, kasih sayang dan tolong menolong menjadi putus, tidak mengenal kerabat dekat maupun kerabat yang jauh. Jika terjadi demikian, maka tidak tercipta keluarga yang agamis.
Membahagiakan keluarga dari pihak isteri termasuk membahagiakan isteri, dan membahagiakan isteri adalah salah satu tanggung jawab seorang suami. Berbakti pada mertua sama halnya berbakti dengan ibu kandung. Karena memang orang tua isteri telah dianggap orang tua suami, manakala akad nikah dinyatakan sah.
Banyak kejadian, seseorang yang telah berumah tangga tidak lagi menjalin hubungan keluarga. Terkadang sampai orang tua sendiri jarang dikunjungi. Padahal bakti seorang anak tidak akan pernah lenyap walau disibukan dengan pekerjaan dan tidak akan pernah lekang walau disinari teriknya matahari, kewajiban bakti kepada orang tua tetap harus dijalin. Salah satu ketidakharmonisan keluarga adalah durhaka kepada kedua orang tua. Secara naluri hati mereka akan sakit, manakala anak-anak mereka tidak memperhatikannya. Padahal keridlaan allah terletak pada keridlaan orang tua dan kemurkaan-nya juga terletak pada kemurkaan orang tua. Betapa tinggi derajat mereka yang harus kita raih keridlaannya agar keluarga kita tercipta sebagai keluarga yang agamis, harmonis dan bahagia.
Bahkan seandainya orang tua itu berlainan agama tetap harus diperlakukan dengan baik. Rasulallah menegaskan perintah ini melalui anjurannya kepada asma` binti abu bakar. Asma berkata:
قَدِمَتْ اُمِّي وَهِي مُشْرِكَةٌ فِى عَهْدِ قُرَيْشٍ وَمُدَّتِهِمْ اِذْ عاَهَدُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ اَبِيْهاَ ، فاَسْتَفْتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ : اِنَّ اُمِّي قَدِمَتْ وَهِى راَغِبَةٌ ، قاَلَ : نَعَمْ صِلِّي أُمَّكِ .
“ketika ibuku datang kepadaku, yang saat itu belum memeluk islam, masih dalam ikatan kaum kafir ketika mereka mengikatkan perjanjian dengan nabi, aku meminta penjelasan kepada rasulallah terhadap persoalan bakti kepadanya sementara ibuku masih memeluk agama lama, kataku ; ‘ya rasulallah, ibuku datang kepadaku sedang dia dalam keadaan musyrik, apakah aku harus menyambutnya? Jawab rasulallah ; ya kamu harus menyambutnya. Jalinlah hubungan yang baik dengan ibumu.’” (hr. Bukhari dan muslim)
Rasulullah sendiri begitu menghormati keluarga dan kerabat isterinya dengan memberikan sesuatu yang menggembirakan hati mereka. Potret kehidupan rasulallah dilukiskan lewat hadits yang diriwayatkan dari siti aisyah. Redaksi hadits tersebut adalah
عَنْ عاَئِشَةَ رَضِى اللهُ عَنْهاَ قاَلَتْ : ماَغِرْتُ عَلىَ اَحَدٍ مِنْ نِساَءِ النَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ماَغِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَماَ رَأَيْتُهاَ ، وَلَكِنْ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْـرُهاَ ، وَرُبَّماَ ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعَـهاَ اَعْضاَءَ ثُمَّ يَبْعَثُهاَ فِى صَداَئِقِ خَدِيْجَةَ ، فَرُبَّماَ قُلْتُ لَهُ : كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِى الدُّنْياَ إِلاَّ خَدِيْجَةُ ؟ فَيَقُوْل : إِنَّهاَ كاَنَتْ وَكاَنَتْ ، وَكاَنَ لِـي مِنْـهاَ وَلَدٌ . [اخرجه البخاري ومسلم ]
“aku tak pernah cemburu dengan isteri-isteri rasulallah, kecuali dengan khadijah. Meskipun aku tak pernah melihatnya, tetapi namanya sering aku dengar dari rasulallah. Suatu ketika rasulallah menyembelih seekor kambing, dan memotong-motong dagingnya, lalu memerintahkan seseorang agar membagikan daging tersebut kepada keluarga dan kerabat khadijah. Sampai aku bertanya kepadanya : “ ya rasul, nampaknya tidak ada wanita yang lebih melekat di hatimu selain khadijah? Kata rasul : ‘khadijah telah begitu banyak berbuat baik kepadaku dan dialah yang dapat memberikan aku anak.’’” (hr. Bukhari dan muslim).
Itulah pelajaran yang diberikan oleh rasulullah kepada umatnya, bahwa berbuat baik sebagai salah satu kebajikan yang harus ditegakan. Apalagi berkaitan dengan keluarga isteri. Menyayangi keluarga isteri termasuk menyayangi isteri dan inilah yang menjadi tanggung jawab seorang suami. Ilustrasi di atas hendaknya dijadikan pijakan bagi suami dalam membina keluarga yang agamis. Berkaitan dengan kewajiban suami dalam membimbing isteri dan keluarga ke jalan yang benar, rasulallah mengingatkan tanggung jawab suami melalui pesannya :
اَللهَ ، اللهَ فِى النِّساَءِ ، فَإِنَّهَا اَمَانَةٌ عِنْدكُمْ ، فَمَنْ لَمْ يَأْمُرْ اِمْرَأَتَهُ بِالصَّلاَةِ وَلَمْ يُعَلِّمْهَا فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ .
“bertakwalah, bertakwalah kepada allah dalam urusan wanita ! Sesungguhnya wanita itu merupakan amanat yang dibebankan kepada kalian. Bila seorang suami tidak mengajarkan isterinya tentang shalat dan pengetahuan keagamaan,sesungguhnya dirinya telah berkhianat kepada allah dan rasul-nya.”

.4. Saling setia dan taat
Sebagai mana dimaklumi, kewajiban seorang isteri adalah mentaati suami dalam kebaikan. Perwujudan rumah tangga yang hakiki adalah saling melaksanakan kewajiban dan saling memberi hak antara suami isteri. Kewajiban yang mesti dipenuhi seorang isteri adalah menaati suaminya selagi mengarah pada kebaikan. Bukan dalam maksiat dan dosa. Karena ketaatan hanya dilaksanakan pada sesuatu yang baik. Kewajiban ini ditegaskan oleh hadits riwayat bukhari dan muslim :
عَلَى الْمَرْءِ اَلْمُسْلِمِ اَلسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْماَ اَحَبَّ اَوْ كَرِهَ اِلاَّ اِنْ أُمِـرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طاَعَةَ . [رواه البخارى والمسلم ]
“kewajiban bagi setiap muslim adalah mendengar dan taat terhadap yang disukai dan sesuatu yang tidak disukai, kecuali jika diperintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan terhadap perintah itu.” Hadits ini memberikan penekanan terhadap kewajiban isteri mentaati suami, selagi dalam kebaikan. Tetapi jika suami mengajak isteri dalam kemaksiatan, seperti mengajak isteri untuk meninggalkan agamanya, atau menyuruh isteri untuk berbuat aniaya terhadap orang lain; mencuri, merampok dll, maka tidak ada kwajiban yang harus ditaati oleh isteri. Jika sang isteri sedang melakukan perbuatan yang sunah, semisal berpuasa, tiba-tiba suami ingin menggaulinya, maka kewajiban bagi isteri adalah memenuhi ajakan suaminya dan meninggalkan perbuatan sunnah. Jika terjadi perbenturan antara perbuatan sunnah yang dilakukan oleh sang isteri dengan kewajibannya terhadap suami, maka akan diambil skala prioritas, yaitu kewajiban mentaati suami sebagai yang diisyaratkan dalam hadits. Tetapi menurut penulis, jika terjadi perbenturan dalam kebajikan yang dilakukan oleh seorang isteri, sebaiknya suami menyadari apa yang dilakukan oleh isteri. Lebih baik ia memberikan motivasi kepada isterinya untuk berbuat kebajikan sebanyak mungkin dalam meningkatkan kwalitas ibadahnya. Barangkali bagi suami yang ingin memenuhi hajatnya, bisa menunda sampai isterinya menyelesaikan kebajikan. Dengan demikian dirinya sebagai suami mendapatkan keuntungan ganda, yaitu dapat memberikan motivasi ibadah isterinya dan dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya secara baik.
Untuk menjaga keutuhan rumah tangga, diperlukan sikap saling memahami. Wanita diharuskan mematuhi suami bukan berarti melecehkan keberadaannya, tidak berarti mengekang kebebasannya, dan bukan menempatkan wanita pada kedudukan inferior. Tetapi memang sudah menjadi konsekwensi sebuah perkawinan bahwa kedua pasangan harus mengetahui hak dan kewajiban mereka. Seorang suami harus menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Ia juga harus menerima hak dari isterinya dengan mentaati keiinginannya yang baik. Seorang isteri harus menjalankan kewajiban untuk membahagiakan suami, menjaga harta dan kehormatannya. Juga seorang isteri berhak menuntut hak dari suaminya seperti mendapatkan nafkah yang layak, baik lahir maupun batin, perlu disayangi dan dicintai, dan hal lainnya yang dapat membahagiakan seoarang isteri. Jika hak dan kewajiban dijalankan secara seimbang oleh suami isteri, maka kehidupan rumah tangga akan berjalan secara harmonis, banyak mendatangkan keuntungan dan tercipta suasana damai dalam rumah tangga.
Kesetiaan merupakan pondasi yang kuat dalam rumah tangga. Bagi seorang isteri hendaknya menerapkan sikap setia kepada suaminya. Kehidupan rumah tangga yang mengalami pasang surut, sering dihempas gelombang laut yang dahsyat, hingga membuat goncangan yang hebat dalam kehidupan rumah tangga. Kesetiaan ini mesti diterapkan oleh kedua pasangan, terutama pada seorang isteri. Barangkali sewaktu suami sedang jaya, kaya, kesetiaan merupakan suatu hal yang wajar. Tetapi di saat musibah menimpa suami, kesetiaan menjadi keharusan yang mesti diterapkan dalam jiwa seorang isteri untuk membahagiakan suaminya. Bisa saja semula suami kaya, lalu datang musibah, pekerjaan mengalami kendala sehingga perusahaan yang dipegang mengalami kepailitan, hutang menumpuk, hingga akhirnya menerpa rumah tangga sampai mendatangkan kemiskinan. Di sini jiwa kesetiaan isteri begitu diperlukan oleh suami dan harus menjadi tanggung jawab sang isteri untuk memberikan dorongan kepada suami agar tabah mengalami rintangan hidup yang mesti mereka jalani dalam menggapai kehidupan yang baik.
Kesetiaan isteri di saat demikian akan menjadi penawar kesedihan dan penghibur yang mujarab bagi kondisi suami. Kegundahan akan berubah menjadi kebahagiaan diri dengan kesetiaan isteri. Kesabaran yang mereka terapkan dalam mengarungi kehidupan akan mendatangkan hikmah yang begitu besar. Di sisi allah mereka mendapatkan ganjaran pahala yang tidak terkirakan, apalagi surga telah dijanjikan oleh allah bagi orang yang sabar terhadap musibah yang terjadi.
Tanggung jawab isteri dalam mentaati suami bukan hanya di saat suami jaya, makmur dan kaya. Tetapi di saat suami miskin, pailit seorang isteri lebih ditekankan menerapkan sikap setianya. Meskipun pemberian nafkah menjadi tanggung jawab suami, namun di saat suami miskin, sikap saling membantu dari sang isteri merupakan kebajikan yang musti diterapkan. Sang isteri bisa saja memberikan sedekah kepada suaminya yang miskin. Islam sangat menganjurkan sedekah kepada kerabat yang miskin, karena hal demikian akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala kekerabatan. Persoalan ini diilustrasikan lewat kisah zainab, isteri abdullah bin masud melalui riwayat bukhari dan muslim :
قاَلَتْ زَيْنَبُ اَلثَّقَفِيَّة إِمْـرَأَةُ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِى اللهُ عَنْهُماَ . قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقْنَ ياَمَعْشَرَ النِّساَءِ وَلَوْ مِنْ حُلِّيِّكُنَّ ، قاَلَتْ : فَرَجَعْتُ إِلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ ، فَقُلْتُ : إِنَّكَ رَجُلٌ خَفِيْفٌ ذاَتُ الْيَدِ ، وَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ اَمَرَناَ بِالصَّدَقَةِ ، فَأْتِهِ فَاسْأَلْهُ ، فَإِنْ كاَنَ ذَلِكَ يُجْـزِي عَنِّي ، وَاِلاَّ صَرَّفَتُهاَ اِلَى غَيْرِكُمْ . فَقاَلَ عَبْدُ اللهِ : اِئْتِـهِ اَنْتِ . فاَنْطَلَقْتُ ، فَإِذاَ إِمْرَأَةٌ مِنَ اْلأَنْصاَرِ بِباَبِ رَسوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حاَجَتُهاَ حاَجَتِي. وَكاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ اُلْقِيَتْ عَلَيْهِ الْمَهاَبَّةُ ، فَخَرَجَ عَلَيْناَ بِلاَلْ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فَقُلْناَ لَـهُ : اِئْتِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ اَنَّ اِمْرَأَتَيْنِ باِلْباَبِ يَسْأَلاَنَكَ : أَتُجْـزَى صَدَ قَةُ عَنْهُماَ عَلَى أَزْواَجِهِماَ ، وَعَلَى أَيْتَامِ حُجُوْرِهاَ ، وَلاَ تُخْبِرُهُ مَنْ نَحْنُ . قَالَـْت : فَدَخَلَ بِلاَلٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ ، فَقاَلَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ هُمـاَ؟ فَقاَلَ : أمْرَأَةُ مِنَ اْلأَنْصاَرِ وَزَيْنَبِ . فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ايُّ اَاـزَيّاَبِ . قاَلَ : اِمْرَأَةُ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْد ، فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهاَ اَجْرَانِ ك اَجْرُالقَرَابَةِ وَاَجْرُ الصَّدَقَةِ . [رواه البخاري ومسلم ]
dikisahkan wanita bernama zainab, isteri abdullah bin masud yang mendengar anjuran rasulallah agar bersedekah dengan perhiasan atau harta yang dimiliki. Lalu zainab pulang dan menjumpai suaminya yang miskin. Ia berkata : “wahai suamiku aku mendengar rasulallah agar memerintahkan kaum wanita bersedekah dengan harta yang dimiliki, bolehkah aku bersedekah kepadamu?jika boleh aku akan sedekahkan kepadamu, tetapi jika tidak boleh, akan aku sedekahkan kepada orang lain. Tanyakanlah masalah ini kepada rasulallah! Lalu abdullah bin masud menjawab ; “tanyakan saja kamu sendiri kepada rasulallah? Zainab pun pergi menemui rasulallah, tetapi di pintu rumahnya ia menjumpai wanita dari anshar yang ingin menanyakan persoalan yang sama dihadapi oleh zainab. Saat itu rasulallah sedang terganggu kesehatannya, sehingga tidak dapat menjumpai mereka. Tetapi rasulallah mewakilkan kepad bilal. Selanjutnya bilal keluar dan aku tanyakan persoalan yang kami hadapi; “wahai bilal, beritahukan kepada rasul ada dua orang wanita yang menanyakan persoalan apakah wanita dibolehkan bersedekah kepada suaminya atau anak yatim yang diasuh dirumahnya? Bilal menyampaikan persoalan tersebut kepada rasulallah. Beliau bertanya : “siapa kedua wanita itu? Satu dari anshar dan satu lagi zainab. Kembali rasul bertanya; ‘ zainab yang mana? Jawab bilal ; ‘zainab isteri abdullah bin masud. Setelah itu rasul berkata: ‘mereka mendapatkan dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala sedekah.’’” (hadits riwayat bukhari dan muslim)
Rasulallah saw melukiskan sebuah kemuliaan seorang isteri yang mentaati suaminya dengan imbalan yang begitu mulia. Pahala yang didapat dari bakti kepada seorang suami disejajarkan dengan berjihad di medan perang. Ternyata bagi isteri tidak perlu ikut susah berjihad di medan perang jika ingin mendapatkan kemuliaan di sisi allah. Tetapi mereka diberikan keringanan dengan hanya berbakti pada suami, mereka sudah mendapatkan kemuliaan di mata allah seperti para lelaki yang berjuang di medan perang. Ada seorang wanita datang kepada rasulallah mengutarakan kegundahannya yang ingin mendapatkan pahala jihad seperti kaum lelaki yang diberikan kesempatan berjuang di medan perang. Hal ini diceritakan dalam sebuah hadits.
جَاءَ تْ اِمْرَأَةٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ : ياَرَسُوْلَ اللهِ ، أَنا واَفِدَةُ النِّساَءِ اِلَيْكَ . هَـذاَ الْجِهاَدُ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى الرِّجاَلِ . فَإِنْ يُصِيْبُواْ أَجَـرُواْ ، وَإِنْ قُتِلُواْ كاَنُوا اَحْيـاَءً عِنْدَ رَبِّـهِمْ يُرْزَقُوْنَ. وَنَحْنُ مَعاَشِرَ النِّساَءِ نَقُوْمُ عَلَيْهِمْ ، فَماَ لَناَ مِنْ ذَلِكَ ؟ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَبْلِغِي مَنْ لَقَيْتَ مِنَ النِّسـاَءِ : اَنَّ طاَعَةَ الْمَرْأَةِ اَلزَّوْجَ وَاعْتِراَفَهاَ بِحَقِّهِ يَعْـدِلُ ذَلِكَ ، وَقَلِيْلٌ مِنْكُنَّ مِنْ يَفْعَـلُهُ .
Ada seorang wanita datang kepada rasulallah saw. Ia berkata : “wahai rasulallah, aku adalah utusan dari wanita-wanita yang ditugaskan untuk datang kepadamu. Sesungguhnya allah mewajibkan jihad kepada laki-laki. Bila mereka menang mendapatkan pahala dan hidup dengan kemuliaan. Sedangkan bila mereka gugur, di mata allah mereka tetap hidup dan mendapatkan rizki dari allah. Sementara kami kaum wanita, hanya melayani kebutuhan mereka, tanpa mendapatkan balasan seperti kaum lelaki. Lalu rasulallah menjawab ; ‘sampaikan pada kaum wanita yang kamu jumpai, bahwa taat dan patuh kepada suami, menjaga kehormatan, dan melaksanakan kewajibannya, mereka akan mendapatkan balasan pahala yang sama dengan pahala suami yang berjihad di jalan allah. Hanya saja sedikit sekali wanita yang melakukannya.’’”
Kedua hadist di atas menggambarkan sebuah cerminan kehidupan rumah tangga yang didasari dengan mentaati dan setia kepada suami. Saling membantu dalam menggapai mahligai rumah tangga yang bahagia merupakan pilar yang kokoh. Isteri yang membantu suaminya yang kurang mampu, mendapatkan keuntungan yang besar, yaitu mendapatkan pahala dan merasakan ketentaraman rumah tangga. Pahala apapun akan didapati oleh seorang isteri yang taat kepada suami, bahkan pahala jihad. Kalau kaum lelaki mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan pahala jihad, tetapi bagi wanita, ia cukup menjalankan tugasnya untuk membahagiakan suaminya dan selalu setia kepada pasangannya sudah mendapatkan pahala jihad.
Sikap seorang isteri dalam melaksanakan tugas untuk membahagiakan suami harus berlapang dada, apalagi ketika kondisi suami miskin. Diharapkan ia menyadari kekurangan yang saa itu barangkali ada pada suaminya. Jangan kemiskinan suaminya dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan tanggung jawabnya. Segala kekurangan yang ada pada suaminya seperti harta, minimnya pendidikan suami, dan tidak memiliki kedudukan yang tinggi dalam jabatan tidak menjadikan sifat arogansi seorang isteri. Ia tetap mentaati suaminya dan setia menghadapi cobaan hidup secara bersama-sama. Sikap arogansi tidak jarang meracuni kehidupan rumah tangga dan membuat kehidupan retak, sehingga terjadi perceraian yang merugikan semua pihak dalam keluarga.
Sebagai seorang isteri yang solehah, harus menghindari sifat arogansi. Karena kehidupan agamis tidak mungkin tercipta jika didasari sipfat egios dalam rumah tangga. Keharmnoisan dan kebahagiaan keluarga tidak bisa diraih dengan saling membanggakan diri. Hanya sifat saling memahami dan saling setia kedua pasangan yang dapat mengubur sifat arogansi dan dapat memupuk benih kasing sayang sehingga tercipta bahtera kehidupan yang baik.


 5. Menjaga kehormatan dan rahasia
Menjaga kehormatan suami dan rumah tangganya adalah suatu kewajiban bagi seorang isteri, baik di kala suami berada di rumah atau di saat suami pekergi bekerja mencari nafkah. Tugas ini merupakan satu bukti komitmen pernikahan, antara suami isteri saling menjaga kehormatan rumah tangganya. Jika hal ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik akan tercipta kondisi rumah tangga yang harmonis, jauh dari fitnah, terhindar dari percekcokan dan tumbuh nuansa agamis dalam lingkungan keluarga. Sebaliknya jika sang isteri tidak menjaga kehormatan suaminya, entah itu nama baik suami, keluarga, harta, kedudukan dan rumah tangganya, maka keretakan rumah tangga akan terjadi sehingga timbul kehancuran keluarga, kehidupan menjadi tidak harmonis, percekcokan sering terjadi ketimbang nuansa damai dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu untuk menciptakan nuansa keimanan, kedamaian dalam keluarga dibutuhkan sosok isteri yang shalehah yang dapat menjaga keutuhan keluarga dengan baik.
Allah telah memberikan kriteria dari wanita yang shalehah dalam surat an-nur ayat 30,
قُلْ لِلمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصاَرِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ، ذَلِكَ أَزْكَـَى لَهُمْ ، إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِماَ يَصْنَعُوْنَ  وَقُلْ لِلْمُؤْمِناَتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصاَرِهِـنَّ وَيَحْفَظْـنَ فُرُوْجَهُـنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُـنَّ إِلاَّ ماَظَهَـرَ مِنْهاَ ، وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِـنَّ عَلَى جُيُوْبِـِهْنَّ ، وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَـهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ اَبَآئِهِنَّ أَوْ اَبَـآءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ اَبْنَـآئِهِنَّ أَوْاَبْناَءِ بُعُوْلَتِـهِنَّ أَوْاِخْوَانِـهِنَّ أَوْبَنِى أَخَوَاتِـهِنَّ أَوْنِسآئِهِنَّ اَوْماَمَلَكَتْ أَيْمَنُـهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِى اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ أَوِالطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُواْ عَلَى عَوْرَاتِ النِّسآءِ ، وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِـنَّ لِيُعْلَمَ ماَيُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ , وَتُوْبُوآ اِلَى اللهِ جَمِيْعاً اَيُّهاَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ 
“katakanlah kepada wanita yang beriman; ‘hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan jangan mereka menampakan perhiasannnya, kecuali yang [biasa] nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya dan jangan menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan [terhadap wanita] atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Umar bin khattab memberikan gambaran tentang isteri shalehah, di antaranya; bila dipandang ia menyenangkan, bila diperintah ia melaksanakan dan bila suami tidak ada di rumah ia menjaga kehormatan dirinya. Istri yang dapat menjaga kehormatan dirinya di saat sang suami tidak berada di sampingnya, akan dipelihara oleh allah swt. Hal ini dijelaskan dalam firman-nya yang artinya : “..oleh sebab itu wanita yang shalehah ialah wanita yang taat kepada allah lagi dapat memeliharan dirinya ketika suami tidak berada di rumahnya. Karenanya allah telah memelihara mereka.” Ibnu abbas memberikan penafsiran terhadap ayat di atas bahwa yang dimaksudkan adalah wanita-wanita yang taat kepada suaminya dengan menjaga diri dan harta suaminya di saat sang suami tidak berada di dekatnya dan wanita yang dijaga adalah wanita yang didipelihara oleh allah dari gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Seorang isteri yang dapat menjaga kehormatan, baik itu kehormatan diri dari gangguan orang yang jahil maupun kehormatan menjaga harta suami dianggap sebagai tanda-tanda kebahagiaan seseorang dalam membina mahligai rumah tangga. Rasulallah mengatakan bahwa tanda-tanda kebahagiaan seseorang ada tiga dan tanda-tanda kesengsaraan seseorang juga ada tiga; tanda kebahagiaan itu adalah isteri yang shaleh, tempat tinggal yang nyaman dan kendaraan yang bagus. Sedangkan tanda-tanda kesengsaraan seseorang adalah isteri yang berperangai buruk, tanah yang gersang dan kendaraan yang jelek. Inilah penghargaan yang diberikan oleh allah kepada wanita yang dapat menjaga kehormatan diri dan suaminya. Karena itulah hendaknya setiap wanita mampu untuk menjadi isteri yang salehah sehingga pembentukan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah tercapai dengan baik.
Wanita akan dimintakan pertanggung jawabannya terhadap sesuatu yang dipimpin. Amanat yang paling besar adalah menjaga rumah suami, kehormatan dan harta miliknya. Kebahagiaan akan tercapai jika amanat ini dilaksanakkan dengan baik. Tetapi jika amanat ini disia-siakan maka kehancuran keluarga akan dialami. Rasulallah pernah bersabda :
اَلآ كُلُّكُمْ راَعٍ ، وَكُلُّكُمْ راَعٍ مَسْؤُوْلٌ عَنْ راَعِيَّتِهِ . فاَلأَمِيْرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ راَعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ راَعِيَّتِهِ ، واَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهاَ وَلَدِهِ وَهِى مَسْؤُوْلَةٌ عَنْهُمْ ، وَالْعَبْـدُ رَاعٍ عَلَى ماَلِ سَيِّـدِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَاعِيَّتِـهِ . [رواه البخارى ومسلم]
“ketahuilah! Setiap kalian adalah pemimpin dan pasti akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpin di hadapan allah. Seorang penguasa adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin dan ia akan dimintakan pertanggung jawabannya tentang keluarganya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya yang dipercayai kepadanya dan akan diminta pertanggung jawaban atas penjagaannya. “(hr. Bukhari muslim)
Seorang isteri dilarang menceritakan rahasia rumah tangganya apalagi berkenaan dengan hubungan seksual dengan suaminya. Sebab hal itu akan mendatangkan bahaya dalam rumah tangga. Kewibawaan rumah tangga tidak lagi terjaga, justru yang nampak hanya kerapuhan dan kekotoran yang menghiasi bingkai kehidupannya. Karena etika-moral kehidupan telah dilanggar dengan menceritakan rahasia-rahasia yang sangat tabu dalam kehidupan rumah tangga. Islam sangat mengutuk suami isteri yang menceritakan kondisi rumah tangganya yang tidak layak untuk diketahui secara umum. Karena perbuatan itu sama saja menguak aib sendiri dan hal itu termasuk perbuatan yang trecela meskipun rahasianya sendiri.
Rasulallah mencap suami isteri yang menceritakan rumah tangga mereka sebagai manusia yang tercela dan buruk perangai. Ini diungkapkan lewat hadits riwayat dari abi sa’id al khudriy, bahwa rasulallah saw bersabda :
شَـرُّ النَّاسِ مَنْزِلَـةً عِنْـدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيـاَمَةِ اَلـرَّجُلُ يُفْضِي اِلَـى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي اِلَيْـهِ ثُمَّ يُنْشِرْ شَـرَّهُماَ
”seburuk-buruk kedudukan manusia dihadapan allah pada hari kiamat adalah seorang suami yang membuka rahasia kepada isterinya dan isteri membuka rahasia kepada suaminya, kemudian menceritakannya kepada orang lain. (hr. Abu daud )
Membuka aib sendiri apalagi persoalan hubungan seksual suami isteri kepada orang lain diperumpakan seperti setan laki-laki dan setan perempuan yang bertemu, lalu melakukan perzinahan dengan ditonton orang banyak. Dengan demikian membuka rahasia rumah tangga yang tidak layak untuk diketahui oleh secara umum tergolong perbuatan tercela dan melanggat etika-moral kehidupan rumah tangga. Kehidupan rumah tangga yang seharusnya mencerminkan kesakralan telah kehilangan harga dirinya. Perbuatan ini akan berakibat serius pada anak-anak baik dalam pembentukan akhlak mereka atau identitasnya. Oleh karena itu sebagai suami yang shaleh dan isteri yang shalehah sudah seharusnya menjauhkan perbuatan tercela dan terkutuk ini.
Rintangan dan kendala yang dijumpai dalam mengerungi bahtera kehidupan suatu hal yang wajar. Terkadang sifat suami tidak sesuai dengan isteri atau sebaliknya, keinginan suami tidak sama dengan isteri, atau pandangan mereka tentang suatu persoalan tidak seragam. Semua itu kerikil yang mesti disingkirkan dari jalan kehidupan mereka. Sikap dan pandangan harus dicarikan jalan keluar, disamakan dalam mengatur dan menata rumah tangga mereka. Rangkaian bunga meskipun beraneka ragam warna, nampak indah dipandang jika dirangkai dan ditata. Begitu juga sikap dan pandangan yang berbeda antara suami isteri harus ditata dan diatur sedemikian rupa hingga elok dipandang. Jangan biarkan perbedaan itu berjalan sendiri, karena akan menjadikan perpencahan keluarga. Bagai tananam yang beraneka ragam warna dibiarkan menjalar ke berbagai tempat tanpa ditata akan menjadi tanaman liar yang tidak indah dipandang mata.
Kelembutan dan keramahan isteri biasanya lebih dapat mengontrol emosinya. Keistimewaan ini menjadi modal dalam membina dan menjaga kehormatan suami dan anak-anaknya. Seorang isteri yang baik adalah isteri yang dapat membahagiakan suaminya dikala kesengsaraan menerpa mereka, menjadi obat pewar yang mujarab di saat kegelisahan melanda suaminya, dan menjadi solusi di kala berbagai masalah menumpuk di benak suaminya. Itulah ciri-ciri isteri yang shalehah, sebagaimana dilukiskan sebuah hadits riwayat dari abu daud dan tirmidzi;
قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَيُّ النِساَءِ خَيْرٌ ؟ قاَلَ : اَلَّتِي تَسَـرَّهُ اِذاَ نَظَـرَ ، وَتُطِيْعُـهُ اِذَا اَمَـرَ ، وَلاَ تُخاَلِفُهُ فِـى نَفْسِهاَ وَلاَ ماَلِهِ بِماَ يُكْـرَهُ .
“ rasulullah pernah ditanya siapakah isteri yang terbaik? Jawab rasul ; ‘seorang isteri yang 1mampu membahagiakan suami pada saat suami melihatnya, patuh kepada perintah suami, dapat menjaga diri dan harta suami dari sesuatu yang dibenci oleh suami.” (hr. Abu daud dan tirmidzi) .
Bagi seorang isteri hendaknya tidak mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumah yang bukan mahramnya di saat suami tidak ada di rumah atau orang yang dibenci oleh suaminya meskipun saat itu suami berada di rumah. Larangan ini telah dijelaskan dalam firman allah swt yang artinya :
يَـآاَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَتَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتـِكُـْم حَتَّى تَسْتَأْنِـسُـوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى اَهْـلِـهََا ، ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَـذَكَّـُرْونَ . فَإِنْ لَمْ تَجِـدُوْا فِيْـهَا اَحَدًا فَلاَ تَدْخُلُـوْهَا حَـتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ ، وَاِنْ قِيْلَ َلكُمْ ارْجِـعُوْا فَارْجِعُوْا هُوَ اَزْكَى لَكُمْ ، وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِـيْرٌ 
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: ‘kembalilah!’ maka hendaknya kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (qs. An-nur : 27-28)
Ayat ini salah satu etika dalam bergaul di mana bagi seorang muslim yang ingin bertamu kepada seseorang jika dirinya tidak diizinkan untuk memasuki rumah, hendaknya jangan masuk, karena secara tidak langsung pemiilik rumah tidak mengizinkan untuk masuk. Oleh karena itu sebagai etika bagi orang yang ingin bertamu diharuskan mengucapkan salam sebanyak tiga kali. Seandainya tidak dijumpai dari jawaban itu, berarti dirinya tidak diperkenankan untuk memasuki rumah. Apakah sang pemilik rumah berada di dalamnya atau memang tidak ada, sebagai tanda diperkenankannya untuk bertamu adalah dengan jawaban salam. Etika ini berlaku untuk umum bagi pasangan suami isteri untuk menjaga kehormatan dan wibawa rumah tangga.
Sebagai seorang isteri yang shalehah harus menjaga kehormatan diri, suami, keluarga dan wibawa rumah tangganya. Jika suami dan anak-anaknya pergi sebaiknya ia tidak mengizinkan orang yang bukan mahramnya untuk memasuki rumahnya. Hal ini untuk menjaga kehormatan diri dan suami serta kehormatan rumah tangganya. Dikhawatirkan jika perbuatan tersebut dilakukan akan terjadi fitnah. Seorang isteri sebaiknya tidak keluar rumah jika suami tidak mengizinkannya. Apabila kebutuhannya sangat mendesak seperti menjenguk orang tuanya yang sedang sakit keras, diharapkan sang suami memahami hajat seoarang isteri, meskipun hak seorang isteri tergantung suaminya, tetapi di sisi lain mereka juga berhak mengunjungi kedua orang tuanya sebagai tanda baktinya kepada kedua orang tua, terutama di saat mereka sedang dibutuhkan kehadiran anaknya.
Bagi seorang suami sebaiknya memaklumi keperluan yang dibutuhkan oleh isteri sehingga mengharuskan dirinya untuk keluar rumah. Misalnya keperluan berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya, atau pergi menghadiri pengajian guna menimba ilmu pengetahuan, dll. Semua itu merupakan alasan yang diharapkan bagi suami untuk dapat mengizinkan isterinya keluar rumah untuk melaksanakan keperluannya. Tetapi diharapkan bagi sang isteri jika keluar dari rumah agar tidak berdandan dengan mode jahiliyah, memakai busana yang transparan, berdandan yang mengundang birahi lelaki, seperti menggunakan parfum yang semerbak dan berjalan lenggak lenggok di hadapan lelaki. Wanita yang tidak menjaga dari godaan lelaki berada dalam kemurkaan allah. Hal ini diperingatkan oleh rasulallah melalui riwayat dari salman al farisy, “wanita mana saja yang bersolek dan memakai parfum yang mengundang birahi lelaki, lalu keluar rumah tanpa seizin suami, sesungguhnya dirinya berada dalam kemurkaan allah sampai ia kembali ke rumah.” (hr. Nasa`i)

1 komentar:

Semoga Amin. kita menjadi suami yang amanah dan istri kita adalah istri yang shalehah, anak-anak kita adalah anak-anak yang sholeh dan sholehah. Semoga momentum maulid nabi 1432 H ini membangkitkan kesadaran kita untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah tercinta. Amin

Posting Komentar